×
Sesungguhnya Allah telah mengarunia hamba-hamba-Nya dengan musim-musim kebaikan. Pada musim-musim itu kebaikan dilipat gandakan, dosa-dosa dihapuskan dan derajat diangkat. Yang teragung dari musim-musim itu adalah bulan Ramadhan, yang telah Allah wajibkan kepada hamba-Nya berpuasa, memotivasi dan mengarahkan mereka agar bersyukur atas perintah-Nya. Karena ibadah ini agung, sudah semestinya kaum muslimin mempelajari hukum-hukum yang berkenaan dengan bulan puasa ini. Risalah ini mengandung sari dari hukum-hukum puasa, adab-adab dan sunah-sunahnya.

Tujuh Puluh Masalah Seputar Puasa

Segala puji bagi Allah. Kami memuji, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Dan kami juga meminta perlindungan-Nya dari keburukan jiwa-jiwa kami serta keburukan perbuatan kami. Siapa yang Allah tunjuki, tidak ada yang dapat menyesatkannya dan siapa yang disesatkan-Nya, tidak ada yang dapat menunjukinya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata yang tidak memiliki sekutu, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.

Adapun selanjutnya:

Sesungguhnya Allah telah mengaruniakan hamba-hamba-Nya dengan musim-musim kebaikan. Pada musim-musim itu kebaikan dilipat gandakan, dosa-dosa dihapuskan dan derajat diangkat. Yang teragung dari musim-musim itu adalah bulan Ramadhan, yang telah Allah wajibkan kepada hamba-Nya berpuasa, untuk memotivasi dan mengarahkan mereka agar bersyukur atas perintah-Nya.

Karena ibadah ini agung, sudah semestinya kaum muslimin mempelajari hukum-hukum yang berkenaan dengan bulan puasa ini.

Risalah ini mengandung inti sari dari hukum-hukum puasa, adab-adab dan sunnah-sunnahnya.

 Pengertian puasa

1. Definisi secara bahasa (etimologi): menahan.

Definisi secara syar'i (terminologi): menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar kedua hingga tenggelam matahari disertai dengan niat.

 Hukum puasa

2. Umat telah Ijma (berkonsensus) bahwa puasa Ramadhan hukumnya fardhu (wajib). Siapa yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa Ramadhan tanpa uzur, berarti dia telah melakukan dosa yang sangat besar.

 Keutamaan puasa

3. Di antara keutamaan puasa ialah ibadah ini telah Allah khususkan untuk diri-Nya sendiri dan Dia-lah yang langsung mengganjarnya, sehingga pahala puasa tak terhitung lipat gandanya, doa orang yang berpuasa tidak ditolak, orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, puasa memberi syafaat pada pengamalnya di  hari kiamat, bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah daripada bau minyak misk, puasa adalah tameng dan benteng yang kuat dari api neraka, siapa yang puasa sehari dijalan Allah, akan Allah jauhkan wajahnya dengan sehari itu dari api neraka sejauh 70 tahun. Serta di surga ada pintu yang dinamakan dengan ar-Royyan yang tidak dimasuki selain orang yang puasa.

Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam. Al-Quran Diturunkan pada bulan ini, padanya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Jika masuk bulan Ramadhan dibukalah pintu surga dan ditutuplah pintu neraka, setan-setan dibelenggu dan puasa di bulan ini menyamai puasa selama sepuluh bulan.

 Di antara faedah puasa

4. Pada puasa terdapat banyak hikmah dan faedah yang kesemuanya berporos pada takwa. Puasa menundukkan setan, memecah hawa nafsu, menjaga anggota tubuh, mendidik keinginan untuk menjauhi hawa nafsu dan kemaksiatan, membiasakan taat pada peraturan, menepati janji dan mempertunjukkan persatuan umat Islam.

 Adab-adab puasa dan sunnah-sunnahnya

5. Ada yang wajib dan ada pula yang mustahab (disukai). Diantaranya:

-      Makan sahur dan mengakhirkannya.

-      Menyegerakan berbuka, sebagaimana sabda Rasulullah -shalallah alaihi wasalam-,

(( لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ ))

"Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama menyegerakan berbuka puasa."

[HR. Al-Bukhari no. 1957, Muslim no.2608, at-Turmudzi no.703]

Nabi shalallahu alaihi wasalam  berbuka dengan buah kurma muda sebelum shalat magrib, jika tidak ada dengan kurma masak, jika tidak ada beliau minum beberapa teguk air, dan berkata setelah iftornya:

(( ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ  ))

"Hilang rasa dahaga, urat-urat kembali basah dan pahala ditetapkan dengan kehendak Allah."

[HR. Abu Dawud no.2357, an-Nasai 1/66, al-Hâkim 1/422 dan dihasankan oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil]

-      Menjauhi rofast, yaitu perbuatan maksiat.

Di antara yang menghilangkan pahala kebaikan dan mendatangkan kejelekan adalah menyibukkan diri dengan permainan puzzles (game), menonton sinetron, film, lomba-lomba, menghadiri majelis sia-sia dan duduk-duduk (nongkrong) di jalan.

-      Hendaknya tidak memperbanyak makan. Sebagaimana hadits:

(( مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ ))

"Tidak ada wadah yang diisi penuh oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya."

[HR. Ahmad 17649]

-      Bersedekah dengan ilmu, harta, kedudukan, tenaga dan akhlak. Nabi shalallah alaihi wasalam adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan, terlebih lagi di bulan Ramadhan.

 Perkara-perkara yang semestinya dilakukan pada bulan yang agung ini

Mempersiapkan suasana dan diri untuk ibadah, bersegera bertaubat dan kembali kepada Allah. Merasa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, menyempurnakan puasa, khusyuk ketika shalat tarawih, tidak futur (melemah) pada sepuluh hari pertengahan, berusaha mendapatkan malam lailatul qodar, bersedekah dan beri'tikaf.

Tidak mengapa mempersiapkan diri dengan masuknya bulan Ramadhan. Nabi shalallah alaihi wasalam dahulu memberi kabar gembira kepada para sahabatnya akan datangnya Ramadhan dan memotivasi mereka untuk bersungguh-sungguh di dalamnya.

 Di antara hukum-hukum puasa

6. Dalam ibadah puasa ada puasa yang harus dilakukan secara tatabu' (berurutan), seperti: pusa Ramadhan, puasa kafarah qotlul khata’ (penebus dosa pembunuhan yang tidak disengaja), puasa kafarah zhihar (penebus dosa menyerupakan istri dengan ibu), kafarah jima (penebus dosa berhubungan badan) di siang Ramadhan dan yang lainnya.

Ada pula puasa yang tidak mengharuskan tatabu' (berurutan) seperti qodho (mengganti) puasa Ramadhan, puasa 10 hari bagi yang berhaji ketika tidak memiliki hadyi (hewan sembelihan) dan yang lainnya.

7. Puasa tatawu' (sunah) menutupi kekurangan puasa wajib.

8. Terdapat larangan menyendirikan puasa hari Jumat dan hari Sabtu yang bukan puasa wajib. Dilarang juga berpuasa sebulan penuh di luar Ramadhan dan puasa wishol (menyambung puasa pada malam harinya). Diharamkan puasa pada dua hari raya dan hari tasyrik ( tanggal 11-13 Zulhijah, kecuali bagi jamaah haji yang tidak memiliki hewan sembelihan untuk bayar hadyu -pent).

 Penetapan masuknya bulan Ramadhan

9. Masuknya bulan Ramadhan ditetapkan dengan melihat hilal (bulan baru) atau menyempurnakan bilangan hari di bulan Syaban menjadi 30 hari. Adapun menentukan masuknya bulan dengan hisab (penghitungan) tidaklah sunah.

 Siapa yang diwajibkan berpuasa?

10. Puasa diwajibkan atas setiap muslim, balig, berakal, mukim, mampu, tidak terdapat penghalang seperti haid dan nifas (bagi wanita).

11. Anak kecil yang berumur 7 tahun diperintahkan jika mampu. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang berumur lebih dari sepuluh tahun dipukul jika meninggalkannya sebagaimana halnya shalat.

12. Jika orang kafir masuk Islam, anak kecil menjadi balig, orang gila sembuh di siang Ramadhan, mereka diharuskan menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa sampai matahari tenggelam, tetapi tidak diharuskan mengganti puasa hari itu dan hari-hari sebelumnya.

13. Orang gila tidak diwajibkan berpuasa. Jika sesekali sadar kemudian kumat lagi, dia harus berpuasa saat sadarnya, sama halnya dengan orang yang pingsan.

14. Siapa yang meninggal di pertengahan bulan Ramadhan, tidak ada kewajiban baginya atau keluarganya memuasai sisa hari setelahnya.

15. Siapa yang tidak tahu hukum wajibnya puasa Ramadhan, atau tidak tahu haramnya makan atau berjima (bersetubuh) di siang Ramadhan, Jumhur Ulama (kebanyakan ulama) menganggapnya sebagai uzur, itu pun bila sebab kebodohan/ketidaktahuannya memang dapat dimaklumi (tinggal di pedalaman misalnya–pent). Adapun orang yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin dan sangat mungkin baginya bertanya dan belajar, maka tidak ada uzur baginya.

 Puasa musafir (orang yang bepergian)

16. Syarat untuk dapat berbuka puasa ketika safar (bepergian) adalah perjalanannya haruslah perjalanan jauh atau urf (dinilai oleh keumuman masyarakatnya sebagai safar) dan telah melampaui negerinya serta bangunan-bangunannya. Safarnya pun bukan safar maksiat (menurut Jumhur Ulama) dan bukan memaksudkan muslihat untuk tidak puasa.

17. Orang yang sedang safar (bepergian), boleh berbuka dengan kesepakatan umat. Baik ia mampu berpuasa ataupun tidak. Baik puasa memberatkan baginya ataupun tidak.

18. Siapa yang berazam ingin bersafar pada bulan Ramadhan, tidak boleh berniat untuk berbuka hingga mulai bersafar. Tidak pula berbuka (membatalkan puasanya) kecuali setelah keluar atau meninggalkan bangunan-bangunan kampungnya.

19. Jika matahari tenggelam dan berbuka di daratan, kemudian pesawat lepas landas (take off) sehingga melihat matahari, dia tidak diharuskan imsak (berpuasa), karena dia telah menyempurnakan puasanya hari itu.

20. Siapa yang sampai ke suatu negeri dan berniat tinggal di tempat itu lebih dari 4 hari, wajib baginya berpuasa menurut Jumhur Ulama.

21. Siapa yang memulai puasa dan dia mukim, kemudian bersafar di siang hari, boleh baginya berbuka.

22. Boleh berbuka bagi mereka yang kebiasaannya melakukan perjalanan jika memiliki negeri yang dijadikan tempat tinggal tetap, seperti: petugas pos, supir mobil sewa, awak pesawat dan  para pegawai. Sekalipun safar (perjalanan) mereka setiap hari. Wajib bagi mereka mengqodho (mengganti puasa yang ditinggal). Demikian pula para pelaut yang memiliki tempat tinggal di darat.

23. Jika musafir tiba di tempat tujuan siang hari, lebih terjaga jika dia imsak (menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang ketika berpuasa) sebagai penghormatan terhadap bulan Ramadhan. Tetapi  wajib baginya mengqodho (mengganti), baik ia imsak ataupun tidak.

24. Jika mulai puasa di negerinya, kemudian bersafar ke negeri lain yang puasanya dimulai sebelum atau sesudahnya, maka hukumnya mengikuti negeri yang dia datangi.

 Puasa orang yang sakit

25. Setiap penyakit yang menyebabkan seseorang keluar dari batas sehat boleh berbuka puasa. Adapun sesuatu yang ringan seperti pilek atau sakit kepala, tidak boleh berbuka karenanya. Jika menurut dokter atau dia mengetahui dan amat yakin jika berpuasa justru akan menyebabkan sakit atau memperparah penyakitnya atau menunda kesembuhan penyakitnya, boleh baginya berbuka, bahkan makruh baginya berpuasa

26. Jika puasa dapat menyebabkan pingsan, boleh berbuka dan wajib menggantinya. Jika tersadar sebelum matahari tenggelam atau setelahnya, maka puasanya sah jika pagi harinya dia berpuasa. Jika pingsannya sejak fajar sampai magrib, Jumhur Ulama berpendapat puasanya tidak sah. Sedangkan qodho (mengganti puasa) bagi yang pingsan, menurut Jumhur Ulama adalah wajib, sekalipun pingsannya berlangsung lama.

27. Bila lapar dan haus yang sangat membuatnya kelelahan dan dikhawatirkan dapat membinasakan atau merusak indranya secara yakin, bukan wahm (dugaan), maka boleh berbuka, dan ia harus mengganti puasanya. Pekerja berat tidak boleh berbuka, kecuali jika puasa memudaratkan aktifitasnya dan dikhawatirkan akan membahayakan dirinya, ia boleh berbuka dan mengganti puasanya. Ujian sekolah bukanlah uzur yang dibolehkan untuk berbuka.

28. Penyakit yang dapat sembuh, ditunggu kesembuhannya kemudian mengqhodo (mengganti puasanya). Tidak boleh diganti dengan ith'âm (memberi makan). Bila penyakitnya kronis dan sulit sembuh, demikian pula orang tua yang sudah lemah, mengganti puasanya dengan memberi makan orang miskin setiap harinya  setengah sho' (kurang lebih 1-1,5 kg ) dari makanan pokok negerinya.

29. Siapa yang sakit kemudian sembuh dan mampu berpuasa tetapi tidak mengqodho (mengganti puasa yang tertinggal semasa sakit) hingga meninggal dunia,  menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin dari hari yang tidak dipuasainya yang dikeluarkan dari hartanya. Jika salah seorang dari keluarganya berkenan berpuasa untuknya hal itu sah.   

 Puasa orang tua, lemah dan pikun

30. Orang tua yang sudah hilang kekuatannya tidak diharuskan berpuasa. Ia boleh berbuka jika puasa membebani dan memberatkannya. Adapun yang sudah  tidak bisa membedakan dan sampai pada batasan pikun, tidak wajib baginya atau keluarganya sesuatu pun karena sudah tidak ada kewajiban atasnya.

31. Siapa yang memerangi dan mengepung musuh di negerinya dan puasa membuatnya lemah dalam berperang, boleh baginya berbuka sekalipun tanpa safar. Jika berbuka dibutuhkan sebelum perang, dia boleh berbuka.

32. Jika sebab berbukanya lahiriah, seperti sakit, tidak mengapa berbuka terang-terangan. Siapa yang sebab berbukanya tidak lahiriah seperti haid, yang utama baginya berbuka dengan tidak terang-terangan, menghindari tuduhan/prasangka.

 Niat puasa

33. Disyaratkan niat dalam puasa fardhu. Demikian pula puasa wajib, seperti: qodho (mengganti) dan kafarah (penebusan dosa). Niat boleh dilakukan di bagian malam manapun sekalipun sesaat sebelum fajar.

Niatnya adalah mengazamkan hati untuk berbuat. Adapun melafalkannya adalah bid'ah. Orang yang berpuasa Ramadhan tidak butuh memperbaharui niat di setiap malam dari malam-malam Ramadhan. Cukup meniatkannya ketika masuk awal bulan.

34. Nafilah mutlak (sunah yang tidak terikat waktunya) tidak disyaratkan niat di malam harinya. Sedangkan nafilah mu'ayyan (sunah yang terikat waktunya) yang lebih hati-hati meniatkannya sejak malam hari.

35. Siapa yang disyari'atkan untuk berpuasa wajib seperti qodho, nazar dan kafarah haruslah menyempurnakannya. Tidak boleh berbuka tanpa uzur. Adapun puasa nafilah/sunah, pengamalnya memerintah dirinya sendiri, jika berkehendak dapat berpuasa atau berbuka, sekalipun tanpa uzur.

36. Bagi seseorang yang tidak tahu akan masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, diharuskan imsak (menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa) di hari itu. Dia harus mengqodho (mengganti) menurut Jumhur Ulama).

37. Orang yang di penjara atau dalam tahanan, jika menyaksikan masuknya bulan Ramadhan atau mengetahui dari pemberitaan orang yang tepercaya, wajib atasnya berpuasa. Jika tidak, dia boleh berijtihad untuk dirinya sendiri (menentukan awal bulan Ramadhan) dan beramal dengan perkiraan kuatnya.

 Ifthor (berbuka) dan imsak (menahan)

38. Jika seluruh lingkaran matahari telah tenggelam, orang yang puasa berbuka. Jangan pedulikan akan adanya cahaya merah yang tersisa di langit.

39. Jika terbit fajar, wajib bagi orang yang berpuasa untuk imsak (menahan) seketika itu juga, sama saja apakah ia telah mendengar azan ataupun tidak. Adapun berhati-hati dengan imsak (menahan) sebelum fajar dalam waktu tertentu seperti 10 menit atau yang sepertinya itu adalah bid'ah.

40. Negeri yang malam dan siangnya 24 jam, bagi kaum muslimin di sana wajib untuk berpuasa sekalipun siangnya panjang.

 Pembatal puasa

41. Pembatal puasa (selain haid dan nifas) tidaklah membatalkan kecuali dengan 3 syarat:

Dia melakukannya dengan pengetahuan bukan karena jahil, ingat dan tidak lupa, sadar dan tidak terpaksa atau dipaksa.

Di antara pembatal itu adalah: jima (bersetubuh), menyengaja muntah, haid/nifas, dibekam, makan dan minum.

42. Di antara pembatal puasa ada yang semakna dengan makan dan minum, seperti: obat-obatan dan tablet melalui oral (mulut), injeksi/infus makanan dan transfusi darah.

Sedangkan suntikan yang tidak mengandung unsur makanan dan minuman, hanya sekedar pengobatan, tidaklah membatalkan pusa. Cuci darah tidak membatalkan puasa. Pendapat kuat mengenai suntik biasa, tetes mata dan telinga, cabut gigi dan pengobatan luka, semua itu tidaklah membatalkan. Spray penyakit asma juga tidak membatalkan. Periksa darah tidak membatalkan puasa. Obat kumur tidak membatalkan puasa selama tidak ditelan. Pembiusan ketika pengobatan gigi dan rasanya masuk sampai ditenggorokan tidak membatalkan puasanya.

43. Siapa yang sengaja makan atau minum pada siang Ramadhan tanpa uzur, maka dia telah melakukan dosa besar. Wajib bertobat dan mengganti puasanya.

44. Jika lupa makan atau minum, hendaknya meneruskan puasanya, karena sesungguhnya Allahlah yang telah memberinya makan dan minum. Jika melihat orang lain yang makan dan minum karena lupa hendaklah mengingatkannya.

45. Jika dia perlu berbuka demi menolong orang yang dalam bahaya, boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya.

46. Siapa yang diwajibkan berpuasa, kemudian berjima (bersetubuh) di siang Ramadhan dengan sengaja dan sadar, maka dia telah merusak puasanya, wajib bertobat dan menyempurnakan puasanya hari itu. Dia juga harus mengqodho dan menunaikan kafarah mugholazoh[1]. Demikian juga yang melakukan zina, sodomi, atau bersetubuh dengan hewan.

47. Siapa yang hendak berjima (bersetubuh) dengan istrinya dengan terlebih dahulu membatalkan puasanya dengan makan, maka maksiatnya lebih besar. Dia telah melecehkan kesucian bulan dua kali, dengan makan dan bersetubuh. Menunaikan kafarah mugholazoh lebih ditekankan.

48. Bagi yang berpuasa, boleh mencium, bersentuhan, berpelukan, memegang dan memandang kepada istri atau hamba sayahanya jika dapat mengontrol dirinya. Tetapi jika dia tipe yang cepat naik syahwat dan tidak dapat mengendalikan diri, tidak boleh melakukannya.

49. Jika sedang berjima (bersetubuh) kemudian terbit fajar, wajib baginya berhenti. Puasanya sah sekalipun keluar mani setelahnya. Jika dia melanjutkannya hingga fajar telah terbit, dia telah berbuka dan atasnya bertaubat, mengganti puasanya dan menunaikan kafarah mugholazoh (puasa 40 hari berturut-turut).

50. Jika masuk subuh dan dia bangun dalam keadaan junub, hal itu tidak merusak puasanya. Boleh mengakhirkan mandi junub, haid dan nifas setelah terbit fajar. Dia harus bersegera mandi semata karena untuk melakukan shalat.

51. Jika orang yang puasa tidur kemudian mimpi basah, maka puasanya tidak batal dan tetap menyelesaikan puasanya.

52. Siapa yang istimna (onani) di siang Ramadhan dengan sesuatu yang mungkin baginya untuk tidak melakukannya, seperti memegang dan mengulang-ulang pandangan, haruslah bertaubat kepada Allah dan berimsak (menahan) sisa hari itu dan menggantinya di hari lain.

53. Siapa yang tiba-tiba muntah tidak harus mengganti puasanya. Siapa yang sengaja muntah hendaknya mengganti puasanya. Jika muncul mual seolah akan muntah tetapi kemudian kembali normal secara sendirinya, puasanya tidak batal. Adapun ludah dan dahak jika menelannya sebelum sampai kemulutnya, puasanya tidak batal, tetapi jika dia menelannya setelah sampai di mulutnya maka puasanya batal. Makruh mencicipi makanan tanpa hajah.

54. Bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu siwak) disunahkan bagi orang yang puasa sepanjang hari.

55. Apa yang terjadi pada orang yang puasa, seperti luka, mimisan, masuk ke air, adanya rasa bensin di tenggorokkan karena mencium baunya tanpa sengaja, tidaklah membatalkan puasa.  Turunnya tetes mata ke tenggorokan, memakai minyak rambut, memulas kulit dengan hana dan mendapatkan cita rasa baunya di tenggorokan tidaklah mengapa. Tidak batal puasa karena memakai hinna (pacar kuku), celak, dan minyak rambut. Demikian pula penggunaan krim pelembab kulit. Tidak mengapa mencium bau minyak wangi dan bukhur (wewangian yang dibakar), akan tetapi berhati-hati dari sampainya asap ke tenggorokan.

56. Untuk kehati-hatian bagi orang yang puasa adalah tidak berbekam. Khilaf (beda pendapat) dalam hal ini cukup kuat.

57. Rokok termasuk pembatal puasa. Ia bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan uzur untuk tidak berpuasa.

58. Berendam di air dan memakai pakaian basah untuk mendinginkan tubuh tidak mengapa bagi yang berpuasa.

59. Jika makan, minum atau jima (bersetubuh) dengan sangkaan masih malam, lalu sadar bahwa fajar sudah terbit, tidak ada apa-apa baginya.

60. Jika berbuka dengan sangkaan matahari telah tenggelam padahal belum, haruslah mengqodho (mengganti) menurut Jumhur Ulama (kebanyakan ulama).

61. Jika terbit fajar sedang di mulutnya masih ada makanan atau minuman, para ahli fikih telah sepakat untuk mengeluarkannya dan sah puasanya.[2]

 Hukum berpuasa bagi wanita

62. Anak perempuan yang baru baligh tetapi karena malu tidak berpuasa, baginya taubat, mengganti hari yang terlewati dan memberi makan satu orang miskin setiap harinya sebagai kafarah (penebus dosa) jika belum menggantinya hingga tiba Ramadhan berikutnya. Sama halnya dengan hukum wanita yang tetap berpuasa ketika haid karena malu dan tidak mengganti puasanya.

63. Istri tidak boleh berpuasa –selain Ramadhan- ketika suaminya ada bersamanya, kecuali suaminya mengizinkan. Jika suaminya sedang bersafar tidak mengapa.

64. Wanita haid jika melihat lendir putih –cairan putih yang keluar dari rahim seusai haid- ini diketahui oleh wanita, berarti dia telah bersih. Hendaknya meniatkan puasa pada malamnya dan berpuasa setelahnya. Jika masih belum bersih pada waktunya, diperiksa dengan diusap dengan kapas atau yang sepertinya, jika bersih hendaknya berpuasa. Wanita haid atau nifas jika darahnya berhenti pada malam hari kemudian berniat puasa tetapi belum mandi hingga terbit fajar, menurut mazhab seluruh ulama puasanya sah.

65. Wanita yang tahu bahwa haidnya akan datang esok hari, hendaknya tetap terus dalam niat puasanya dan tidak berbuka sampai mendapatkan darah.

66. Yang utama bagi wanita haid adalah tetap pada tabiatnya dan ridha dengan apa yang telah Allah gariskan atasnya. Hendaknya tidak memakai apa-apa yang mencegah haid.

67. Jika wanita hamil mengalami persalinan dan janinnya sudah berbentuk, maka ia nifas dan tidak berpuasa. Jika janinnya belum berbentuk, itu adalah mustahadhah (darah penyakit), atasnya berpuasa jika mampu.

Wanita nifas jika sudah bersih sebelum 40 hari, berpuasa dan mandi untuk shalat. Jika melebihi 40 hari hendaknya meniatkan puasa dan mandi. Darah yang masih keluar setelah 40 hari dianggap istihadhah (darah penyakit).

68. Darah istihadhah (darah penyakit) tidak berpengaruh pada keabsahan puasa.

69. Pendapat yang kuat adalah mengkiaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit; boleh berbuka dan tidak ada kewajiban atasnya selain qodho (mengganti). Sama saja apakah khawatir akan dirinya atau anaknya.

70. Wanita yang wajib berpuasa, jika disetubuhi oleh suaminya pada siang Ramadhan dengan keridhaannya, maka hukumnya sama seperti hukum suaminya. Adapun jika dipaksa, atasnya berusaha menolak dan tidak ada kafarah baginya.

Penutup, inilah yang dapat disampaikan dari masalah-masalah puasa. Saya meminta kepada Allah untuk membantu kita agar senantiasa mengingat, bersyukur dan beribadah kepada-Nya dengan baik. Semoga Allah menutup untuk kita bulan Ramadhan dengan pengampunan dan pembebasan dari api neraka. 

Salawat dan salam tercurah kepada Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan pada sahabatnya.



[1] Membebaskan budak, jika tidak ada puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu puasa maka dengan memberi makan 60 orang miskin.

[2] Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersada:

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian mendengar kumandang azan sementara wadah makanan masih ada di tangannya, janganlah meletakkannya hingga selesai dari hajatnya.”

[HR. Ahmad 10910 dan Abu Dawud no. 2352. Disahihkan oleh al-Albani dalam Sahih Abu Dawud]

Ketika Syaikh bin Baz -rahimahullah- ditanya apakah boleh minum sebelum usainya azan, beliau menjawab:

Jika orang yang berpuasa tidak mengetahui bahwa itu adalah azan subuh, tetapi seperti kebiasaan orang-orang yang mengandalkan jam dan penanggalan, tidak mengapa ia minum. Ia boleh memakan dan meminum apa yang ada di tangannya meskipun azan berkumandang, karena azan yang dikumandangkan adalah dugaan masuknya waktu subuh, bukan kepastian subuh. Muazin mengabarkan apa yang dia lihat di jam atau penanggalan. Bisa jadi waktu subuh sudah benar-benar keluar dan bisa jadi juga belum. Allah mewajibkan imsak (menahan) dengan tabayun (melihat lansung). Hendaknya bagi seorang mukmin untuk menjaga agar berhenti dari makan sahur sebelum fajar atau sebelum azan hingga tidak jatuh dalam subhat (keraguan). Akan tetapi jika sempat makan sesuatu yang ringan bersamaan dengan azan atau minum ketika azan, yang nampak adalah tidak mengapa jika tidak mengetahui waktu fajar benar-benar telah terbit.

[Transkripsi dari fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Bâz di acara Nûrun Ala ad-Darb] –pent.