×
Makalah ini membahas tentang salah satu akhlak salafus shalih, yaitu sederhana dalam bercanda dan tertawa. Diceritakan dalam makalah ini beberapa candaan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersama para sahabat dan beliau menegaskan bahwa ‘Aku tidak berkata kecuali yang benar’, ancaman bagi yang berdusta agar orang tertawa, juga anjuran agar selalu tersenyum di wajah saudaranya karena ia adalah sedakah. Kesimpulannya bahwa kita dianjurkan agar selalu sederhana dalam bercanda dan tertawa, serta jangan berlebihan. Wallahu ta’ala a’lam.

    Salafus Shalih dan Sederhana dalam Tertawa dan Bercanda

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil

    Bahauddin bin Fatih Aqil

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2014 - 1436

    السلف والاعتدال فى الضحك والمزاح

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ عبدالعزيز بن ناصر الجليل

    الشيخ بهاء الدين بن فاتح عقيل

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2014 - 1436

    Muqodimah

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

    Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam seraya berkata: Ya Rasulullah, bawalah saya (bersamamu). Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّا حَامِلُوْكَ عَلَى وَلَدِ النَّاقَةِ» [ أخرجه الترمذي ]

    ‘Sesungguhnya kami akan membawamu di atas anak unta.’ Ia berkata: ‘Dan apakah yang bisa saya lakukan dengan anak unta? Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Bukankah tidak melahirkan unta kecuali anak unta? (maksudnya, bukanlah unta besar juga anak unta?).[1]

    Dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan di hadapan beliau adalah roti dan kurma, beliau bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اُدْنُ فَكُلْ» [ أخرجه ابن ماجه ]

    ‘Mendekatlah, lalu makanlah.’ Maka aku mulai memakai kurma, maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « تَأْكُلُ تَمْرًا وَبِكَ رَمَدٌ» [ أخرجه ابن ماجه]

    ‘Apakah engkau memakan kurma sedangkan (di matamu) ada tahi mata? Ia berkata: Aku menjawab: ‘Sesungguhnya aku mengunyahnya dari sisi yang lain.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tersenyum.’[2]

    Dari Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: tatkala ia berbicara kepada suatu kaum –ia sedang bercanda-, ketika ia membuat mereka tertawa, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memukulnya dengan tongkat di pinggangnya. Ia berkata: Berilah haq qishash kepadaku. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: ‘Aku siap menerima.’ Ia (Usaid radhiyallahu ‘anhu) berkata: ‘Sesungguhnya engkau mengenakan pakaian sedangkan saya tidak mengenakan pakaian.’ Maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melepaskan bajunya, lalu ia memeluknya dan mengecup pundaknya. Ia berkata: ‘Sesungguhnya aku menghendaki hal ini wahai Rasulullah.’[3]

    Dari Mu’awiyah bin Bahz radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيَضْحَكَ بِهِ الْقَوْمُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ» [ أخرجه أبو داود ]

    ‘Celakalah bagi seseorang yang berbicara, lalu berdusta agar membuat orang lain tertawa. Celakahlah baginya, celakalah baginya.’[4]

    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Mereka (beberapa sahabat) berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau bercanda bersama kami.’ Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنِّي لَا أَقُوْلُ إِِلاَّ حَقًّا» [ أخرجه الترمذي ]

    ‘Sesungguhnya aku tidak berkata kecuali yang benar.’[5]

    Muhammad bin Nu’man bin Abdus Salam berkata: ‘Aku belum pernah melihat orang yang lebih ahli ibadah dari pada Yahya bin Hammad, dan saya duga dia tidak pernah tertawa.’

    Adz-Dzahaby memberi komentar atas hal itu: Tertawa yang sedikit dan tersenyum lebih utama, dan tidak adanya hal itu dari para ulama terbagi dua bagian:

    Salah satunya: bahwa yang utama bagi yang meninggalkannya karena adab dan takut kepada Allah ta’ala, dan berduka cita terhadap dirinya yang miskin.

    Kedua: tercela bagi yang melakukannya karena bodoh, sombong dan dibuat buat, sebagaimana orang yang banyak tertawa akan diremehkan. Dan tidak diragukan bahwa tertawa pada anak muda lebih ringan dan bisa dipahami dari pada pada orang tua.

    Adapun tersenyum dan muka berseri maka lebih tinggi dari semua itu. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ » [أخرجه البخاري فى الأدب المفرد]

    ‘Tersenyumnya engkau di hadapan saudaramu adalah sedakah.’[6] Jarir radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melihatku kecuali tersenyum.’[7]

    Inilah akhlak Islam, kedudukan tertinggi adalah yang banyak menangis di malam hari dan tersenyum di siang hari. Dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَنْ تَسَعَوُا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ فَلْيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ» [ أخرجه البزار والحاكم وأبو نعيم ]

    “Kamu tidak akan bisa memberi bantuan kepada manusia dengan hartamu, maka hendaklah muka berseri menjadi bantuanmu untuk mereka.’[8]

    Masih tersisa sedikit di sini: Semestinya bagi orang yang suka tertawa lagi tersenyum agar mengurangi hal itu, mencela dirinya agar tidak banyak tertawa, dan semestinya bagi orang yang bermuka masam, suka cemberut agar tersenyum dan memperbaiki akhlaknya, mencela dirinya terhadap akhlaknya yang buruk dan setiap yang menyimpang dari kewajaran adalah tercela, dan jiwa harus mujahadah dan belajar adab.[9]

    [1] HR. Abu Daud 4998 dan at-Tirmidzi 1992.

    [2] HR. Ibnu Majah 3443 dan dihasankan oleh Albany.

    [3] HR. Abu Daud 5224 dan dishahihkan oleh Albany.

    [4] HR. Abu Daud 4990 dan dihasankan oleh Albany.

    [5] HR. At-Tirmidzi 1991.

    [6] HR. HR. Al-Bukhari dalam adabul Mufrad 891 dan at-Tirmidzi 1957.

    [7] HR. Al-Bukhari 3035 dan Muslim 2475

    [8] HR. Al-Bazzar 1977, Abu Nu’aim dalam Hilyah 10/20, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/124.

    [9] Siyar 10/140-141.