×
Makalah ini membahas tentang salah salah satu akhlak para salafus shalih, yaitu pemahaman tentang kesungguhan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tanpa berlebihan dan tidak kurang. Diceritakan dalam makalah tentang Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu yang shalat di perjalanan, jawaban Ahnaf ketika ditanya tentang puasanya ‘Sesungguhnya saya sedang menyiapkannya untuk perjalanan panjang’, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Amar radhiyallahu ‘anhu agar puasa satu hari dan berbuka satu hari, dan larangan puasa sepanjang tahun, lalu ibadah Salman radhiyallahu ‘anhu yang menyarankan agar sederhana dalam ibadah, dan berbagai cerita dan riwayat lainnya dari para salaf yang semua itu menunjukkan pemahaman mereka terhadap kesungguhan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

    Salafus Shalih Dan Kesungguhan beribadah

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil -

    Bahauddin bin Fatih Aqil

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2014 - 1435

    السلف وفقه الاجتهاد فى العبادة

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ عبدالعزيز بن ناصر الجليل

    الشيخ بهاء الدين بن فاتح عقيل

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2013 - 1435

    Muqodimah

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

    Dari ‘Ashim al-Ahwal, dari Abu Utsman an-Nahdy, ia berkata: Aku melihat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu bergerak di atas tunggangannya dan ia menghadap arah terbit matahari. Aku mengira ia sedang tidur, lalu aku mendekatinya dan bertanya: ‘Apakah engkau sedang tidur wahai Abu Dzarr? Ia menjawab: ‘Tidak, akan tetapi tadi aku sedang shalat?[1]

    Dikatakan kepada Ahnaf rahimahullah: ‘Sesungguhnya engkau sudah tua sedangkan puasa melemahkan kondisi fisikmu.’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya saya sedang menyiapkannya untuk perjalanan panjang.’ Dikatakan: Shalat yang dilaksanakan Ahnaf rahimahullah umumnya adalah di malam hari dan ia meletakkan jarinya di lampu, kemudian ia berkata: ‘Hass’[2] dan ia berkata (kepada dirinya sendiri): ‘Wahai Ahnaf, apakah yang mendorong engkau melakukan ini di hari ini.’[3]

    Dari Sa’id al-Jurairy, dari Abul ‘Ala`, dari seorang laki laki, ia berkata: ‘Aku mendatangi Tamim ad-Dary radhiyallahu ‘anhu lalu ia menceritakan kepada kami. Aku berkata: ‘Berapa juz engkau (dalam membaca al-Qur`an)? Ia berkata: ‘Barangkali engkau termasuk orang yang membaca al-Qur`an, kemudian di pagi harinya ia berkata: Aku telah membaca al-Qur`an di malam hari.’ Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh aku melaksanakan shalat sunnah tiga rekaat lebih kusukai dari pada membaca al-Qur`an di malam hari, kemudian di pagi harinya aku menceritakannya.’ Maka tatkala ia membuat aku marah, aku berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya engkau wahai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tersisa darimu lebih baik diam, maka kalian tidak perlu mengajar dan tidak perlu bersikap kasar kepada orang yang bertanya kepadamu.’

    Maka tatkala ia melihatku marah ia bersikap lembut dan berkata: ‘Maukah engkau kuceritakan wahai anak saudaraku? Bagaimana pendapatmu jika aku seorang mukmin yang kuat dan engkau seorang mukmin yang lemah, maka kekuatanku menekan kelemahanmu, maka engkau tidak mampu melawanku. Atau bagaimana pendapatmu jika engkau seorang mukmin yang kuat dan aku seorang mukmin yang lemah, ketika aku membawa kekuatanmu menekan kelemahanku, maka aku tidak mampu melawanmu. Akan tetapi ambillah dari dirimu untuk agamamu dan dari agamamu untuk dirimu, sehingga perkara menjadi lurus untukmu terhadap ibadah yang engkau mampu melakukannya.’[4]

    Dan dari lanjutan komentar adz-Dzahaby rahimahullah terhadap hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, dalam membaca al-Qur`an: ... demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam puasa dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menguranginya hingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا صَوْمَ أَخِي دَاوُدَ عليه السلام» [ أخرجه فالبخاري ومسلم]

    “Puasalah satu hari dan berbuka satu hari, puasa saudaraku Daud ‘alaihissalam.’[5]

    Dan dalam hadits shahih juga, beliau bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أَفْضَلُ الصِّيَامِ صِيَامُ دَاوُدَ عليه السلام» [ أخرجه البخاري ومسلم ]

    “Puasa paling utama adalah puasa nabi Daud ‘alaihissalam.”[6] Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa dahr (sepanjang tahun).[7] Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh tidur di sebagian malam dan bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَلكِنِّي أَقُوْمُ وَأَنَامُ وَأَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَآكُلُ اللَّحْمَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي » [ أخرجه البخاري ومسلم]

    “Akan tetapi aku shalat dan tidur, puasa dan berbuka, menikahi wanita dan memakan daging, maka siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dariku.”[8]

    Dan setiap orang yang tidak mengencangkan jiwanya dalam ibadah dan wirid wiridnya dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya ia akan menyesal, menjalani hidup seperti pendeta, buruk wataknya, dan ia ketinggalan banyak kebaikan dalam mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat sayang terhadap orang orang beriman dan sangat mengharapkan manfaat untuk mereka. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menjadi pengajar bagi umat amal amal yang paling utama dan menyuruh untuk meninggalkan tabattul (tidak menikah) dan bergaya hidup seperti pendeta yang beliau tidak diutus dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang terus menerus puasa, melarang menyambung puasa, melarang shalat kebanyakan malam kecuali sepuluh hari terakhir, melarang hidup membujang bagi yang mampu, melarang meninggalkan daging, dan berbagai perintah dan larangan lainnya. Maka seorang ‘abid (ahli ibadah) yang tidak banyak mengetahui hal itu dimaafkan dan diberi pahala, dan seorang ‘abid yang ‘alim (mengetahui) hadits hadits yang melewatinya (tidak mengamalkannya) adalah meninggalkan yang lebih utama dan terperdaya. Amal ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang paling rutin (terus menerus) sekalipun sedikit. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi ilham kepada kami dan kamu untuk mutaba’ah (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menjauhkan kita dari hawa nafsu dan menyalahi sunnah.[9]

    Waki’ menceritakan dari A’masy, dari Sulaiman bin Maisarah dan Mughirah bin Syibl, dari Thariq bin Syihab, dari Salman (al-Farisi, sahabat utama radhiyallahu ‘anhu), ia berkata: ‘Apabila tiba malam hari, manusia darinya ada tiga tingkatan: Di antara mereka ada yang berguna untuknya dan tidak membahayakannya, ada yang membayakannya dan tidak berguna baginya, dan ada yang tidak berguna baginya dan tidak membahayakannya.’ Aku bertanya: ‘Bagaimana hal itu? Ia berkata: ‘Adapun orang yang berguna untuknya dan tidak membahayakannya maka ia adalah seorang laki laki mengambil keuntungan saat manusia terlalai dan dalam kegelapan malam, ia berwudhu dan shalat, maka itulah yang berguna untuknya dan tidak membahayakannya, dan laki laki yang mengambil keuntungan saat manusia terlalai dan di kegelapan malam, maka ia berjalan dalam maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka itulah yang membahayakannya dan tidak bermanfaat baginya, dan laki laki yang tidur hingga pagi hari maka itulah yang yang tidak bermanfaat baginya dan tidak membahayakannya.

    Thariq berkata: Aku berkata: ‘Aku akan menemani orang ini (Salman radhiyallahu ‘anhu).’ Maka dikirim satu pasukan dari manusia (kaum muslimin), maka ia keluar bersama mereka. Lalu aku menemaninya dan aku tidak akan membiarkannya terhadap satu pekerjaan, jika aku mengaduk gandum ia memasak roti. Lalu kami singgah di satu tempat dan menginap padanya. Thariq mempunyai satu jam di malam hari yang dia melakukan shalat. Maka aku (Thariq) terjaga untuknya namum aku melihatnya tidur, aku berkata: Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik dariku sedang tidur, lalu aku tidur. Kemudian aku bangun maka aku mendapatkannya masih tidur, aku kembali tidur, namun ketika ia bangun dari tidur, ia membaca sambil berbaring:

    «سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ »

    ‘Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar. Tiada ilah yang berhak disembah selain Allah, sendirian-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.’

    Sehingga apabila sudah menjelang waktu subuh, ia bangun, berwudhu, shalat empat rekaat. Tatkala kami selesai shalat fajar, aku berkata: ‘Wahai aku Abdillah, sesungguhnya saya mempunyai satu waktu di malam hari untuk shalat malam, dan aku terbangun untuknya namun aku mendapatkan engkau sedang tidur.’ Ia berkata: ‘Wahai anak saudaraku, apakah yang telah engkau dengar dariku? Aku mengabarkan kepadanya. Ia berkata: ‘Wahai anak saudaraku, itulah shalat, sesungguhnya shalat lima waktu menjadi penebus dosa dosa di antaranya selama ditinggalkan dosa dosa besar, wahai anak saudaraku, kamu harus sederhana (dalam ibadah), maka sesungguhnya ia lebih pas.’[10]

    Dari Asab bin Wada’ah, dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, apabila ia mendatangi tempat tidur, berbolak balik di atas kasurnya tidak bisa tidur, ia berkata: Ya Allah, sesungguhnya api telah menghilangkan tidur dariku.’ Lalu ia bangun, lalu ia shalat hingga subuh.’[11]

    Dan darinya, ia berkata: ‘Apabila Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu menuju tempat tidurnya seolah olah ia adalah biji di atas gorengan, maka ia berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya api neraka telah membuat saya terjaga (tidak bisa tidur)’, kemudian ia bangun menuju shalat.’[12]

    Adz-Dzahaby meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Baghawy, ia berkata: ‘Ibnu Zanjawaih menceritakan kepada saya, ia berkata: aku mendengar Ibrahim bin Mahdy berkata: Aku mendengar Abul Ahwash berkata: ‘Anak perempuan tetangga Manshur bin Mu’tamir berkata: Wahai bapakku, di manakah kayu yang berdiri tegak di loteng Manshur? Ia menjawab: ‘Itu adalah Manshur yang berdiri melaksanakan shalat malam.’[13]

    Nu’aim bin Hammad rahimahullah berkata: ‘Apabila Ibnu Mubarak rahimahullah membaca kitab riqaq, jadilah ia mengeluarkan suara seperti sapi yang disembelih karena tangis, tidak ada seorang pun dari kami yang berani bertanya kepadanya tentang sesuatu kecuali ia menolaknya.’[14]

    Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan berkata: aku mendengar Ashim bin ‘Isham al-Baihaqy berkata: ‘Aku menginap suatu malam di sisi Ahmad bin Hanbal rahimahullah, lalu ia datang dengan membawa air dan meletakkannya. Maka tatkala di pagi hari ia melihat air masih utuh seperti semula, ia berkata: ‘Subhanallah, seorang laki laki menuntut ilmu tidak punya wirid (ibadah rutin) di malam hari.’[15]

    Ishaq bin Ibrahim berkata: aku mendengar Fudhail berkata: ‘Apabila engkau tidak mampu shalat di malam hari dan puasa di siang hari, maka ketahuilah bahwa engkau terhalang lagi terbelenggu yang dibelenggu oleh kesalahanmu.’[16]

    Adz-Dzahaby berkata dalam biografi Ahmad bin Absil Hawary ash-Shufy memberikan komentar terhadap sebagian ucapannya: Aku berkata: ‘Jalan yang tertinggi adalah Muhammadiyah (yang dicontohkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yaitu mengambil yang halal dan mengambil keinginan yang dibolehkan tanpa berlebih-lebihan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    ﴿يَآأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا﴾ [المؤمنون: 51]

    Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. (QS. al-Mukminun:51)

    Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَلكِنِّي أَقُوْمُ وَأَنَامُ وَأَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَآكُلُ اللَّحْمَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي » [ أخرجه البخاري ومسلم]

    “Akan tetapi aku shalat dan tidur, puasa dan berbuka, dan menikahi wanita dan memakan daging, maka siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dariku.”[17]

    Maka tidak disyari’atkan berperilaku seperti pendeta, bercerai berai, menyambung puasa, bahkan tidak pula puasa setahun penuh. Agama Islam adalah mudah, cenderung kepada toleransi yang lurus, maka seorang muslim memakan dari yang halal yang diperolehnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    ﴿ لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ﴾ [الطلاق: 7]

    Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. (QS. ath-Thalaq:7)

    Dan wanita adalah yang paling dicintai kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18] Demikian pula (beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai) daging, halwa (manisan), madu, minuman manis/tawar lagi dingin dan minyak kesturi, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk paling utama.

    Kemudian, seorang ‘abid (ahli ibadah) yang kosong dari ilmu apabila bersikap zuhud, tidak menikah, lapar, meninggalkan daging dan buah buahan. Dan mencukupkan diri terhadap gandum dan potongan roti niscaya kosong panca indranya dan halus, bisikan hati tidak berpisah darinya, ia mendengar bisikan yang bersumber dari rasa lapar dan tidak tidur. Demi Allah, panggilan/bisikan itu tidak pernah ada dalam realita, syetan masuk ke dalam batinnya dan keluar. Maka ia meyakini telah sampai, mendapat bisikan dan baik, maka syetan menguasainya, berbisik kepadanya, maka ia memandang orang orang beriman dengan pandangan merendahkan, mengingatkan terhadap dosa dosa mereka dan ia melihat kepada dirinya dengan pandangan sempurna. Terkadang perkara itu membawa kepada keyakinannya bahwa ia seorang wali, memiliki karamat dan kemampuan. Terkadang ia merasakan keraguan dan imannya tergoncang. Menyendiri dan lapar adalah langkah pertama jalan kependetaan dan itu tidak pernah ada dalam syari’at kita.

    Bahkan, suluk (ibadah), tekun berdzikir, tidak berkumpul orang banyak, menangisi kesalahan, membaca al-Qur`an dengan tartil dan tadabbur, mencela hawa nafsu, banyak berpuasa yang disyari’atkan, selalu tahajjud, tawadhu (rendah hati) terhadap kaum muslimin, silaturrahim, toleransi, banyak tersenyum, berinfak padahal membutuhkan, mengatakan kebenaran yang pahit dengan lembut dan santun, menyuruh yang ma’ruf, memaafkan, berpaling dari orang orang jahil, berjaga di perbatasan, berjihad melawan musuh, melakukan ibadah haji, makan yang halal dan banyak beristighfar, maka ini semua adalah sifat sifat para wali dan pengikut nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkan kita dalam mencintai mereka.[19]

    [1] Siyar A’lam Nubala` 2/78.

    [2] Ungkapan yang keluar dari mulut saat merasakan rasa sakit.

    [3] Siyar A’lam Nubala` 4/91-92.

    [4] Siyar A’lam Nubala’ 2/446.

    [5] Sebagian dari hadits yang diriwayatkan al-Bukhari no.1976 dan Muslim dalam kitab Shaum no. 1159.

    [6] Ibid.

    [7] HR. Muslim 191, 186,187.

    [8] HR. Al-Bukhari 5063 dan Muslim 1401.

    [9] Siyar A’lam Nubala` 3/84-85.

    [10] Siyar A’lam Nubala’ 1/549-550.

    [11] Sifat Shafwah 1/709.

    [12] Sifat Shafwah 1/709.

    [13] Siyar A’lam Nubala` 5/403.

    [14] Siyar A’lam Nubala` 8/394

    [15] Siyar A’lam Nubala` 11/298.

    [16] Shifat Shafwat 2/238

    [17] HR. Al-Bukhari 5063 dan Muslim 1401.

    [18] HR. Ahmad 2/128,199, 285, an-Nasa`i 7/61, al-Hakim 2/160, ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahaby dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Disukakan kepadaku dari dunia: wanita dan wewangian, dan dijadikan penyejuk mataku dalam shalat.’

    [19] Siyar A’lam Nubala` 12/89-91.