×
Makalah ini menceritakan tentang salah satu akhlak salafus shalih, yaitu khawatir dan takut ada sifat ‘ujub dalam hati. Dalam makalah ini diceritakan ungkapan-ungkapan mereka yang terkait dengan salah satu penyakit hati, yaitu sifat ‘ujub. Semua itu bersumber dari kekhawatiran mereka dari penyakit ini yang berakibat bisa menggugurkan amal ibadah yang sudah dilakukan. Hendaknya ungkapan dari para salaf ini menjadi cermin bagi kita semua agar berhati-hati dari penyakit ‘ujub ini.

    Salafus Shalih Khawatir

    Dari Sifat ‘Ujub

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil

    Bahauddin bin Fatih Aqil

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2013 - 1435

    السلف والخوف من العُجب

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ عبدالعزيز بن ناصر الجليل

    الشيخ بهاء الدين بن فاتح عقيل

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2013 - 1435

    Muqodimah

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

    Tsabit al-Bunany rahimahullah berkata: ‘Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah seseorang dari Quraisy dan tidak ada seseorang darimu dari yang berkulit merah dan tidak pula yang berkulit hitam yang melebihi aku dengan taqwa kecuali aku ingin berada di kulitnya.[1]

    Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’ atau dari yang lain, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: ‘Wahai sebaik-baik manusia atau wahai sebaik-baik anak manusia.’ Maka ia (Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu) berkata: ‘Aku bukan sebaik-baik manusia dan bukan pula sebaik-baik anak manusia, akan tetapi aku adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah Shubhanahu wa ta’ala. Aku mengharap dan takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala, demi Allah, kamu senantiasa dengan laki-laki itu sehingga kalian membinasakannya.’[2]

    Di dalam al-Hilyah[3]: Abul Asyhab meriwayatkan dari seorang laki laki, Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata: ‘Sungguh aku tidur di malam hari dan menyesal di pagi hari lebih kusukai dari pada shalat di malam hari dan pagi hari merasa ‘ujub.’ Adz-Dzhaby rahimahullah berkata: ‘Tidaklah beruntung, demi Allah, orang yang menganggap dirinya bersih atau merasa ‘ujub.’[4]

    Dari Wahab bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: ‘Ingatlah dariku tiga perkara: Hindarilah hawa nafsu yang dituruti, teman yang jahat dan seseorang merasa ujub dengan dirinya.’[5] Abu Wahab al-Marwazi rahimahullah berkata: ‘Aku bertanya kepada Ibnu Mubarak rahimahullah: ‘Apakah takabur itu? Ia menjawab: ‘Engkau merendahkan manusia (orang lain).’ Lalu aku bertanya: ‘Apakah ‘ujub itu? Ia menjawab: ‘Bahwa engkau merasa bahwa engkau memiliki sesuatu yang tidak ada di sisi orang lain dan aku tidak melihat sesuatu pada orang orang yang shalat yang lebih buruk dari sifat ‘ujub.’[6]

    Ahmad bin Abi Hawary berkata: ‘Abu Abdullah al-Anthaky menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Fudhail dan at-Tsaury rahimahumallah bertemu dan melakukan mudzakarah, lalu Sufyan menjadi sedih dan menangis. Kemudian ia berkata: ‘Aku mengharapkan majelis ini menjadi rahmat dan berkah untuk kita.’ Fudhail berkata kepadanya: ‘Akan tetapi aku –wahai Abu Abdillah- khawatir bahwa ia lebih berbahaya terhadap kita. Bukankah engkau sampai kepada pembicaraanmu yang terbaik dan aku sampai kepada pembicaraanku yang terbaik, maka engkau memperindah ucapan untukku dan aku memperindah ucapan untukmu? Maka Sufyan menangis dan berkata: ‘Engkau mencintai aku semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala mencintaimu.’[7]

    Imam Syafi’i rahimahullah berkata: ‘Apabila engkau merasa khawatir sifat ‘ujub terhadap amal ibadahmu maka ingatlah ridha yang engkau tuntut, kenikmatan apakah yang engkau inginkan, dari siksaan apakah yang engkau takutkan. Maka siapa yang memikirkan hal itu niscaya menjadi kecil amal ibadahnya di sisi -Nya.’[8] Risydin bin Sa’ad berkata: ‘Hajjaj bin Syaddad menceritakan kepada kami, ia mendengar Ubaidullah bin Abu Ja’far berkata –ia seorang yang bijaksana-: ‘Apabila seseorang berbicara di satu majelis, lalu pembicaraan itu membuat ia ‘ujub maka hendaklah ia berhenti. Dan apabila ia diam, lalu diam itu membuatnya ‘ujub maka hendaklah ia berbicara.’[9]

    Dari Sa’id bin Abdurrahman, dari Abu Hazim rahimahullah, ia berkata: ‘Sesungguhnya seorang hamba melakukan kebaikan yang membuatnya senang saat melakukannya dan Allah Shubhanahu wa ta’ala tidak menjadikan keburukan yang lebih berbahaya terhadapnya dan sesungguhnya seorang hamba melakukan kejahatan kemudian ia merasa bersalah telah melakukannya, dan Allah Shubhanahu wa ta’ala tidak menjadikan kebaikan yang lebih bermanfaat baginya. Dan penjelasan hal itu bahwa seorang hamba ketika melakukan kebaikan ia merasa bangga padanya dan merasa bahwa ia mempunyai kelebihan terhadap orang lain, dan bisa jadi Allah Shubhanahu wa ta’ala menggugurkan amal ibadahnya dan mengugurkan bersamanya amal ibadah yang sangat banyak. Sesungguhnya seorang hamba melakukan keburukan yang membuat ia merasa bersalah, bisa jadi Allah Shubhanahu wa ta’ala memberikan baginya rasa takut pada -Nya, lalu ia bertemu Allah Shubhanahu wa ta’ala dan sesungguhnya rasa takutnya tetap berada di dalam rongganya.[10]

    Adz-Dzahaby rahimahullah memberi komentar dalam biografi Ibnu Hazm rahimahullah terhadap perkataannya (Saya mengikuti kebenaran dan berijtihad serta tidak terikat dengan mazhab), ia berkata: ‘Saya katakan: ‘Ya, siapa yang mencapai derajat ijtihad dan beberapa imam bersaksi untuk hal itu, ia tidak boleh bertaqlid. Sebagaimana seorang faqih yang masih pemula dan seorang awam yang hapal al-Qur`an atau sebagian besar darinya, ia sama sekali tidak boleh berijtihad. Bagaimana mungkin ia bisa berijtihad, apa yang dia baca? Atas dasar apa ia membangun? Bagaimana ia bisa terbang saat belum mempunyai bulu?

    Bagian ketiga: Seorang faqih yang sudah mencapai puncak, cerdas, paham, ahli hadits, yang hapal kitab-kitab ringkas (singkat) dalam cabang ilmu, kitab dalam kaidah-kaidah ushul, membaca nahwu, serta hapal terhadap kitabullah (al-Qur`an), mempelajari tafsirnya dan mampu berdialog. Ini adalah martabat orang yang sudah mencapai derajat ijtihad muqayad (terikat), sudah mampu mempelajari dalil-dalil para imam. Maka siapa yang sudah jelas kebenaran baginya dalam satu masalah, nash sudah kuat padanya, dan diamalkan oleh salah seorang imam yang dikenal seperti Abu Hanifah misalnya, atau seperti Malik atau Tsaury, atau Auza’i, atau Syafi’i, Abu Ubaid, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah jami’an, maka hendaklah ia mengikuti kebenaran padanya dan tidak mengambil jalan rukhshah (keringanan) padanya, hendaklah ia bersikap wara’ dan setelah berdiri hujjah atasnya ia tidak boleh lagi melakukan taqlid.

    Jika ia khawatir hasutan dari para fuqaha maka hendaklah ia menyembunyikannya dan tidak menampakkan perbuatannya. Maka bisa jadi muncul sikap ‘ujub dalam jiwanya dan ingin menampakkan nya, maka ia akan dihukum dengan penyakit hati yang tercela. Berapa banyak orang yang menuturkan kebenaran dan menyuruh yang ma’ruf lalu Allah Shubhanahu wa ta’ala menguasakan para fuqaha atasnya. Sebagaimana ia merupakan penyakit yang berjalan di dalam jiwa orang-orang yang berinfak dari orang-orang kaya, pemilik waqaf dan tanah yang indah. Ia adalah penyakit tersembunyi yang menjalar di jiwa para tentara, pemimpin dan orang yang berjihad. Maka engkau melihat mereka bertemu musuh dan bertemu kedua pasukan, sedangkan di dalam jiwa para mujahid ada yang tersembunyi dari sikap sombong dan menampakkan keberanian agar dikatakan[11] dan sikap ‘ujub, memakai pakaian berwarna keemasan, topi tentara yang indah, perbekalan yang dihiasi terhadap jiwa orang-orang yang sombong, dan kuda-kuda yang tangguh. Ditambah lagi melalaikan shalat, zhalim terhadap rakyat, minum arak, maka bagaimana mungkin mereka mendapat pertolongan? Bagaimana mungkin mereka tidak terhinakan? Ya Allah, tolonglah agama -Mu dan berilah taufiq kepada hamba hamba -Mu.

    Maka siapa yang menuntut ilmu untuk diamalkan niscaya ilmu akan mematahkannya dan ia menangis terhadap dirinya. Dan siapa yang menuntut ilmu untuk mengajar, berfatwa, membanggakan diri dan riya`, niscaya ia menjadi sombong, merendahkan orang lain, dibinasakan sifat ‘ujub dan semua jiwa akan membencinya.

    قال الله تعالى: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ﴾ [الشمس: 9-10]

    sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, * dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams:9-10)

    Ia mengotorinya dengan perbuatan fasik dan maksiat.[12]

    [1] Siyar A’lam Nubala` 1/18. Mislakh artinya kulit. Maksudnya bahwa ia ingin seperti petunjuk dan jalannya.

    [2] Siyar A’lam Nubala` 3/236.

    [3] Hilyatul Auliya’ 2/200

    [4] Siyar A’lam Nubala’ 4/190

    [5] Siyar A’lam Nubala’ 4/549

    [6] Siyar A’lam Nubala’ 8/407

    [7] Siyar A’lam Nubala’ 8/439

    [8] Siyar A’lam Nubala’10/42.

    [9] Siyar A’lam Nubala’6/10

    [10] Siyar A’lam Nubala’6/10.

    [11] Maksudnya agar dikatakan jagoan dan pemberani, sebagaimana dalam hadits tiga orang yang dinyalakan api neraka dengan mereka. Lihat: Shahih Musliam, bab imarah no. 1905.

    [12] Siyar A’lam Nubala` 18/191-192.