Hukum Hijab Syar’i
Klasifikasi
Full Description
Hukum Hijab dalam Islam
[ Indonesia - Indonesian - إندونيسي ]
Diambil dari kitab:
"Masuliyatul Marah al Muslimah"
Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah
Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2012 - 1433
حكم الحجاب في الإسلام
« باللغة الإندونيسية »
مقتبسة من كتاب:
"مسؤولية المرأة المسلمة"
عبد الله بن جار الله بن إبراهيم الجار الله
ترجمة: عارف هداية الله
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2012 - 1433
Hukum Hijab dalam Islam
Pengertian hijab syar'i yaitu menutupi wajah sekalipun di hadapan orang yang buta, apalagi di hadapan orang yang sehat tentu lebih di tekankan lagi, adapun perempuan yang sedang melaksanakan ibadah ihram tatkala mereka membuka wajahnya di hadapan laki-laki asing, itu saja sudah mampu membikin fitnah bagi orang yang melihatnya serta menyibukan hati hamba-hamba Allah dari kalangan para jamaah haji dan umrah, apalagi di kesempatan dan waktu yang lainnya tentu membawa fitnah yang lebih besar lagi.
Apabila membuka wajah adalah wajib hukumnya atas setiap wanita muhrimah, sebagaimana dikatakan oleh sebagian para ulama dengan syarat aman dari terjadinya fitnah, maka menutup wajah lebih di wajibkan lagi karena bisa menghindari terjadinya fitnah dan gangguan, dan pembolehan membuka wajah bagi seorang wanita yang sedang muhrim sebagai dalil yang menunjukan bahwa hijab wajib baginya ketika tidak melaksanakan ibadah ihram, karena kalau sekiranya wajib di sebabkan hal yang lain maka pembolehan tatkala ihram tidak memiliki makna yang berarti, sehingga tatkala di wajibkannya hijab bagi para wanita maka mereka harus menutup mukanya, adapun pendapat yang menyatakan bolehnya membuka wajah serta telapak tangan maka mereka tidak mempunyai hujjah.
Maka hijab merupakan kebutuhan primer serta kewajiban yang tidak boleh di tinggalkan oleh setiap wanita, karana hijab merupakan sarana penunjang yang akan menjaga pria dan wanita semuanya, sedangkan membuka wajah adalah faktor penghancur akhlak mulia dan kerusakan lawan jenis.
Dan kewajiban hijab atas perempuan muslimah adalah sebagai bentuk tabir penutup antara dirinya dan laki-laki asing tatkala seorang wanita di haruskan keluar dari rumahnya ketika dalam keadaan yang mendesak, dan agama Islam telah meletakan bagi perempuan syarat ketentuan-ketentuan tertentu serta adab-adab yang ada di dalam masalah kebutuhan yang mendesak bagi dirinya, dan seberapa besar perhatian dan penjagaannya seorang wanita terhadap hijabnya maka sebesar itu pula penjagaan lingkungan masyaratkat terhadap dirinya. [1]
Hijab adalah salah satu perintah Allah Ta'ala yang tertera di dalam kitabNya demikian juga salah satu perintah yang telah di tegaskan melalui lisan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan hijab merupakan amal perbuatan yang biasa di kerjakan oleh umahatul mukminin pada generasi pertama yang penuh dengan keutamaan sampai pada zaman kita sekarang ini. Maka sosok wanita adalah aurat pada setiap anggota tubuhnya, mulai dari ubun-ubunnya sampai ujung kukunya, sehingga wajib baginya untuk menutupi seluruh tubuhnya di hadapan lelaki asing yang bukan mahramnya.
Dan di antara perkara yang banyak di selisihi oleh kaum hawa adalah keluarnya mereka dari tempat tinggalnya dengan membuka wajah tanpa di tutupi dengan hijab sehingga menimbulkan fitnah bagi para lelaki, maka membuka wajah bagi perempuan tatkala keluar rumah adalah perkara yang menyelisihi perintah Allah dan RasulNya Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Dan maksud dari perkataan berhijab adalah hendaknya seorang wanita tidak melihat dan terlihat oleh lelaki, karena pandangan adalah panah beracun dari panah-panahnya setan, maka hal itu tidak di bolehkan kecuali dalam keadaan darurat yang di benarkan oleh syari'at, seperti melihatnya seorang lelaki yang ingin meminang wanita pilihannya, atau dalam keadaan seorang wanita sedang bersaksi pada suatu perkara, atau berobat yang tidak bisa di lakukan kecuali harus membuka anggota badannya, namun semua perkara itu dengan catatan harus di sertai oleh mahramnya. [2]
Dalil-dalil yang menunjukan kewajiban berhijab
Menutup wajah bagi wanita serta seluruh anggota tubuhnya adalah wajib berdasarkan al-Qur'an dan Sunah, dan antara dalil-dalil yang menunjukan hal itu, yang ada di dalam al-Qur'an adalah:
- Firman Allah Azza wa jalla:
قال الله تعالى : ﴿ وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ﴾ . ( سورة النور :31).
"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (QS an-Nuur: 31).
Dan sisi pengambilan dalil dari ayat ini yang berkaitan dengan kewajiban hijab adalah di ambil dari enam sisi:
Pertama, bahwa perintah agar menjaga kemaluan adalah bentuk perintah yang mencakup kepada sarana yang mengarah kesana, di antara salah satu sarananya adalah menutup wajah, karena membuka wajah bisa mengakibatkan wajah akan di lihat oleh lelaki asing, sedangkan dalam ilmu ushul di sebutkan sarana itu mempunyai hukum tujuan yang ingin di capainya.
Kedua, apabila seorang perempuan diperintahkan supaya menurunkan kerudungnya sampai menutupi dadanya, maka perintah untuk menutup wajah menjadi suatu keharusan sebagai pengikut dari perintah pertama, karena jika menutup leher dan dada saja di wajibkan maka menutup wajah lebih di utamakan karena wajah merupakan tempat keelokan dan kecantikan seseorang, di samping juga sebagai sumber pembawa fitnah. Dan biasanya orang yang menginginkan kecantikan atau ketampanan tidak ada pertanyaan yang pertama kali diajukan melainkan tentang wajahnya, apabila cantik maka ia tidak melirik lagi pada anggota tubuh yang lainnya.
Ketiga, firman Allah Ta'ala: "kecuali yang (biasa) nampak dari padanya". Maksudnya adalah sesuatu yang memang harus terlihat seperti permukaan baju, oleh karena itu Allah berfirman: " kecuali yang (biasa) nampak dari padanya". Allah tidak mengatakan: "Apa yang di perlihatkan oleh mereka".
Keempat, selanjutnya di dalam ayat berisi larangan untuk menampakan perhiasaan kecuali bagi orang-orang yang di bolehkan untuk melihatnya, maka hal itu menunjukan bahwa perhiasaan yang kedua ini bukan yang di maksud di dalam perhiasaan yang pertama, adapun yang pertama adalah yang dhohir (yang tidak boleh di perlihatkan) bagi setiap orang, sedangkan perhiasaan yang kedua adalah yang bathin yang tidak boleh di nampakan melainkan kepada orang-orang khusus, seperti suami dan saudaranya.
Kelima, apabila seorang wanita di larang untuk menghentakan kakinya (ketika berjalan) karena di takutkan akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki yang mendengar suara sendalnya maka bagaimana dengan membuka wajah tentu hal itu lebih besar lagi kemungkinan membawa fitnahnya.
Keenam: Dan pengkhususan di sebutnya pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, dengan di bolehkannya untuk menampakan perhiasaan kepada mereka maka hal itu menunjukan haramnya menampakan perhiasan bagi selain mereka dan yang terdepan adalah wajah.
Di antara dalil-dalil yang menunjukan kewajiban hijab adalah firman Allah Azza wa jalla:
قال الله تعالى : ﴿ وَٱلۡقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا يَرۡجُونَ نِكَاحٗا فَلَيۡسَ عَلَيۡهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعۡنَ ثِيَابَهُنَّ غَيۡرَ مُتَبَرِّجَٰتِۢ بِزِينَةٖۖ ﴾ ( سورة النور: 60)
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan". (QS an-Nuur: 60).
Dan pengkhususan hukum di dalam ayat ini dengan wanita yang sudah menaupose ini sebagai dalil yang menunjukan bahwa wanita-wanita tua yang masih mempunyai hasrat untuk menikah mereka telah menyelisihi hukum asal.
Salah satu dalil tentang wajibnya hijab adalah firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ﴾ ( سورة الأحزاب : 59).
"Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS al-Ahzab: 59).
Sahabat Ibnu Abas radiyallahu 'anhu mengatakan: "Allah menyuruh wanita-wanita mukminin apabila mau keluar rumah karena kebutuhan hendaknya menutupi wajah-wajah mereka mulai dari atas kepala dengan jilbab". [3]
Sedangkan dalam ilmu ushul di katakan bahwa ucapan sahabat tentang tafsir penjelasan tentan makna ayat adalah hujah bahkan ada sebagian para ulama yang mengatakan hukumnya sama dengan marfu' sampai kepada Nabi Shalallahu 'alahi wa sallam, yaitu perkataan Ibnu Abbas: "Hendaknya seorang wanita apabila keluar rumah hanya menampakan satu mata". Maka wanita di anjurkan apabila di luar rumah karena kebutuhannya hendaknya hanya menampakan satu mata. Dan yang di maksud dengan jilbab adalah kerudung besar yang di pakaikan di atas kepala yang menutupi sampai ke bawah dadanya.
- Fiman Allah Azza wa jalla:
قال الله تعالى : ﴿ وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسَۡٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ﴾
( سورة الأحزاب:53)
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir". (QS al-Ahzab: 53).
Ayat ini adalah nash yang sangat jelas tentang wajibnya wanita berhijab dari laki-laki dan menutupi seluruh anggota tubuhnya dari pandangan mereka. Dan Allah Subhanahu wa ta'ala telah menjelaskan di dalam ayat ini bahwa dengan berhijab akan menjadikan hati kaum lelaki maupun wanita menjadi lebih suci serta menjauhkan dari perbuatan keji dan segala bentuk muqodimah perbuatan zina, karena Allah Ta'ala berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّ ﴾ ( سورة الأحزاب : 53 )
"Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" (QS al-Ahzab: 53)
Sebagaimana telah lewat penjelasannya bahwa ayat ini mencakup seluruh istri-istri Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan perempuan-perempuan kaum mukminin. [4]
Imam Qurthubi mengatakan: "Dan masuk di dalam makna ayat ini adalah seluruh kaum wanita, maka tatkala kandungan pokok yang ada di dalam syari'at yang menjelaskan bahwa seorang wanita seluruh anggota tubuhnya adalah aurat demikian juga suaranya maka tidak boleh bagi mereka untuk membukanya kecuali kalau ada kebutuhan yang sangat mendesak seperti ketika akan bersaksi atau ketika harus berobat yang terbuka bagian anggota tubuhnya". [5]
- Di antara dalil tentang wajibnya hijab adalah firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ لَّا جُنَاحَ عَلَيۡهِنَّ فِيٓ ءَابَآئِهِنَّ وَلَآ أَبۡنَآئِهِنَّ وَلَآ إِخۡوَٰنِهِنَّ وَلَآ أَبۡنَآءِ إِخۡوَٰنِهِنَّ.. ﴾ (سورة الأحزاب: 55).
"Tidak berdosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka..". (QS al-Ahzab: 55).
Imam Ibnu Katsir mengatakan tentang ayat ini: "Allah menyuruh para wanita untuk memakai hijab agar tertutupi dari penglihatan orang asing, kemudian Allah menjelaskan bahwa ketika di hadapan saudara-saudaranya mereka tidak di wajibkan untuk mengenakan hijab, sebagaimana telah datang pengecualianya yang ada di dalam surat an-Nuur, yaitu dalam firmanNya:
قال الله تعالى : ﴿ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ ...﴾ . ( سورة النور31 ).
"Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka…". (QS an-Nuur: 31).
Inilah lima dalil yang ada di dalam al-Qur'an yang menunjukan wajibnya perempuan berhijab, adapun dalil-dalil yang ada di sunah, maka sebagai berikut:
1. Sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا خطب أحدكم امرأة فلا جناح عليه أن ينظر منها إذا كان إنما ينظر إليها لخطبة وإن كانت لا تعلم» ( رواه أحمد)
"Apabila salah seorang di antara kalian ingin mengkhitbah seorang wanita maka tidak mengapa ia melihatnya, karena dengan melihat memungkinkan ia lebih cocok untuk meminangnya dari pada apabila ia tidak mengetahuinya". HR Ahmad.
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini tentang kewajiban hijab yaitu di bersihkankanya dosa karena melihat wanita asing bagi orang yang ingin melamarnya secara khusus ketika sedang nadhor, menunjukan bahwa selain orang yang ingin meminang, ia akan berdosa bila sengaja melihatnya, demikian juga apabila ia sengaja melihat bukan untuk tujuan untuk mengkhitbahnya.
2. Bahwasanya Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tatkala menyuruh untuk mengeluarkan para wanita ke tempat sholat 'ied, maka (kami para perempuan mengatakan) kepada beliau: "Wahai Rasulallah sesungguhnya di antara kami ada yang tidak mempunyai jilbab". Beliau mengatakan: "Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya". HR Bukhari dan Muslim. Hadits ini menunjukan bahwa termasuk kebiasaan para shohabiyah adalah mereka tidak pernah keluar rumah melainkan dengan memakai jilbab, dan perintah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk memakai jilbab menunjukan bahwa wanita harus tertutupi seluruh tubuhnya.
3. Telah tetap sebuah hadits di dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
عن عائشة قالت: كان رسول الله ﷺ يصلي الفجر فيشهد معه نساء من المؤمنات متلفعات بمروطهن ثم يرجعن إلى بيوتهن ما يعرفهن أحد من الغلس (متفق عليه)
"Adalah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam ketika biasa melaksanakan sholat shubuh, maka (ada sebagian) kaum wanita yang ikut serta bersama beliau, (mereka keluar) sambil menutupi tubuhnya dengan selimut-selimut mereka, kemudian mereka kembali kerumahnya sedangkan tidak ada yang saling mengetahui wajah- wajah salah satunya di karenakan harinya yang masih sangat gelap".
Beliau lalu mengomentari keadaan para wanita yang ada pada zamannya dengan mengatakan, "Kalau sekiranya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melihat keadaan para wanita pada zaman ini, tentu beliau pasti akan melarang kalian untuk mendatangi masjid-masjid Allah". Dan di riwayatkan dari Ibnu Mas'ud ucapan serupa seperti ucapannya Aisyah radhiyallahum 'ajma'in.
Sisi pengambilan dalil dari hadits di atas ada dua sisi:
Pertama, bahwa berhijab dan selalu menutupi seluruh anggota badannya merupakan kebiasaan yang ada di kalangan para shohabiyah yang mana mereka adalah sebaik-baik generasi yang pernah ada di umat ini.
Kedua, bahwa Aisyah dan Ibnu Mas'ud, keduanya memahami dari apa yang telah mereka saksikan dari nash-nash syar'iyah, kalau termasuk dari perbuatan yang membawa madharat adalah keluarnya wanita dari rumahnya, yang mana kalau seandainya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melihat keadaan yang seperti itu tentu beliau pasti akan melarang para wanita keluar rumahnya.
4. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة » فقالت أم سلمة: فكيف يصنع النساء بذيولهن قال: «يرخينه شبًرا » قالت: إذا تنكشف أقدامهن قال:« يرخينه ذراعًا لا يزدن عليه » ( رواه البخاري و مسلم وغيرهما ).
"Barangsiapa yang menurunkan pakaianya di karenakan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat". Maka Umu Salamah bertanya kepada beliau: "Lantas bagaimana dengan baju perempuan". Beliau menjawab: "Turunkan sejengkal". Umu Salamah masih menawar: "Kalau begitu mata kaki mereka kelihatan". Beliau mengatakan: "Turunkan satu diro', tidak lebih dari itu". HR Bukhari dan Muslim serta selain keduanya.
Di dalam hadits ini diambil faidah wajibnya perempuan untuk menutupi mata kakinya, yang mana hal itu merupakan perkara yang telah banyak di ketahui oleh kalangan wanita pada zaman sahabat, sedangkan mata kaki merupakan tempat fitnah yang lebih ringan di banding wajah dan kedua telapak tangan, maka peringatan dari Umu Salamah dengan perkara yang ringan supaya di pahami untuk mengingatkan pada perkara yang lebih besar.
5. Sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam kepada para wanita:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا كان لإحداكن مكاتب وكان عنده ما يؤدي فلتحجب منه » ( رواه أحمد و أبو داود وإبن ماجه وصححه الترمذي).
"Apabila ada di antara salah seorang di antara kalian mukaatib,[6] sedangkan ia berada di sisinya maka hendaknya ia berhijab darinya". HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan di shahihkan oleh Imam Tirmidzi.
Hadits ini menunjukan wajibnya perempuan memakai hijab dari laki-laki yang bukan mahramnya.
6. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Adalah ketika ada sekelompok kaum yang berkendaraan melewati kami, sedangkan kami pada waktu itu sedang berihram bersama Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, jika mereka sejajar dengan kami maka kami menarik jilbab untuk menutupi wajah-wajah kami, apabila mereka sudah menjauh baru kami buka kembali". HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Di dalam hadits ini sebagai dalil yang jelas tentang wajibnya menutup wajah bagi perempuan, karena yang di syari'atkan bagi seorang yang sedang muhrim adalah membuka wajah, kalau sekiranya tidak ada penghalang kuat yang mengharuskan untuk di tutupi maka membiarkan wajah tetap terbuka adalah perkara yang wajib, sampai kalau berada di antara orang yang berkendaraan. [7]
Hujahnya orang yang membolehkan membuka wajah serta bantahannya
Di antara hujahnya mereka adalah:
Pertama: Tafsirnya Ibnu Abbas tatkala menafsirkan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ ﴾ ( سورة النور31)
"Kecuali yang (biasa) nampak dari padanya..". (QS an-Nuur: 31). Beliau menafsirkan dengan wajah dan kedua telapak tangannya.[8]
Maka jawaban atas hujah ini dari dua sisi:
Pertama, bahwa adanya kemungkinan ucapannya beliau sebelum turunya ayat hijab.
Kedua, bahwa tafsiran beliau tentang ayat di atas tidak bisa di jadikan sebagai hujah secara mutlak kecuali apabila tidak bertabrakan dengan pendapat sahabat yang lainnya, dan telah jelas bahwa tafsir beliau bertentangan dengan tafsiranya Ibnu Mas'ud yang menafsirkan dengan pakain luar yang biasa nampak yang tidak mungkin bisa di tutupinya. [9]
Ketiga, apa yang telah di riwayatkan oleh Abu Dawud dari Aisyah radhiyallahu 'anha yang mengatakan bahwa Asma binti Abu Bakar pernah masuk ke rumahnya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan pakain yang tipis, kemudian beliau berpaling darinya, sambil bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا بلغت المرأة المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا » ( رواه أبو داود).
"Apabila seorang wanita sudah sampai usia haid (baligh) maka tidak pantas baginya untuk terlihat kecuali ini dan ini". (HR. Abu Dawud)
Beliau mengisyaratkan kepada wajah dan kedua telapak tangannya.
Maka kita jawab hadits dho'if ini dari dua sisi:
Pertama, sanadnya terputus antara Aisyah dan Khalid bin Dariik, seorang rawi yang meriwayatkan dari Aisyah , karena yang benar dia tidak pernah mendengar dari Aisyah.
Kedua, bahwa dalam hadits ini di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa'id bin Basyir yang telah di lemahkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Ma'in serta selain keduanya, maka kesimpulannya hadits ini tidak bisa di jadikan sebagai hujjah akan wajibnya berhijab. Anggaplah kalau kiranya hadits ini shahih, maka ia di bawa kepada sebelum perintah wajib berhijab karena nash-nash hijab di nukil sebagai pokok dalam masalah ini sebagaimana telah lewat penjelasannya.
Ketiga, apa yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dari haditsnya Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa saudaranya Fadhl bin Abbas pernah membonceng Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam pada waktu haji wada', dan ketika itu ada salah seorang wanita dari Khatsa'um yang datang kepada Nabi, maka Fadhl melihat kepada perempuan tadi demikian juga, perempuan tadi pun melihat kepada Fadhl, kemudian Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam memalingkan wajah Fadhl kearah lain.
Mereka mengatakan bahwa hadits ini sebagai dalil bahwa wanita boleh membuka wajahnya.
Maka bantahan atas pendapat ini adalah bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam di dalam kisah di atas tidak membenarkan apa yang di lakukan oleh Fadhl, sehingga yang bisa diambil dari hadits ini seharusnya adalah haramnya melihat kepada perempuan asing. Mungkin ada yang bertanya kenapa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruh wanita tersebut berhijab?
Kita jawab, karena wanita tersebut pada saat itu sedang dalam keadaan muhrimah, oleh karena itu di bolehkan baginya untuk tidak menutup wajahnya, dan juga adanya kemungkinan bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam kemudian menyuruh wanita itu untuk langsung berhijab.
Keempat, masih sama sebuah hadits yang di keluarkan oleh Imam Bukhari dan selain beliau, dari haditsnya Jabir bin Abdillah yang menjelaskan sholat 'iednya Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Diceritakan setelah selesai sholat beliau kemudian memberi wejangan dan peringatan kepada manusia, setelah itu beliau kemudian mendatangi para sahabat wanita, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka, dan di antara salah satu isinya adalah:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «يا معشر النساء تصدقن فإنى رأيتكن أكثر أهل النار» فقامت امرأة من سطة النساء سفعاء الخدين فقالت: ما لنا أكثر أهل النار » ( رواه البخاري ومسلم).
"Wahai para wanita, bershodaqohlah kalian, sesungguhnya saya pernah melihat kebanyakan di antara wanita adalah calon penghuni neraka". Maka ada salah seorang wanita yang berkulit hitam, yang berada di tengah-tengah mereka berdiri, seraya mengatakan: "Apa sebabnya kami (para wanita) banyak yang masuk neraka". Al-Hadits.
Mereka mengatakan bahwa perkataan rawi yang menyatakan melihat wanita tersebut sambil mensifati berkulit hitam maka ini sebagai dalil bahwa wanita tersebut wajahnya terbuka.
Maka kita jawab, adanya kemungkinan bahwa wanita itu termasuk salah satu orang tua yang sudah menaupose, yang sudah tidak ada keinginan hasrat untuk menikah lagi, maka kalau begitu di bolehkan baginya untuk melakukannya, atau kejadian tersebut terjadi sebelum turunnya ayat hijab, yang di jelaskan dalam surat al-Ahzaab, yang mana ayat hijab in turun pada tahun kelima hijriyah, sedangkan sholat 'ied di syari'atkan pada tahun kedua hijriyah.
Ini, sesungguhnya dalil-dalil tentang wajibnya hijab dengan menutup wajah merupakan pokok di dalam penukilan, adapun dalil-dalil yang menjelaskan bolehnya membuka wajah berada di bawah hukum asal tersebut, sehingga penukilan yang pokok di dahulukan dari pada cabangnya sebagaimana hal itu telah ma'ruf diketahui dalam ilmu ushul, karena di dalam penukilan ada tambahan ilmu yaitu penetapan perubahan hukum aslinya. [10]
Dan perbuatan sufuur (membuka wajah) mempunyai dampak kerusakan yang beragam, sebagaimana telah lewat penjelasan, oleh karena itu Islam mengharamkannya sebagaimana telah di jelaskan oleh dalil-dalil tentang wajibnya hijab, seperti yang telah kita sebutkan ada lima ayat di dalam al-Qur'an dan enam hadits dari Sunah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, maka hal itu sudah cukup menenangkan bagi siapa saja yang telah di beri petunjuk serta taufik oleh Allah Ta'ala, dan mempunyai hati bersih yang menginginkan kebenaran.
Faidah-faidah dari dalil-dalil wajibnya hijab
1. Hijab merupakan kewajiban bagi setiap wanita mukmin, dan hijab adalah kewajiban syar'i yang telah sempurna.
2. Anak perempuan serta istri-istri Nabi Shalallahu 'alaih wa sallam yang suci mereka adalah teladan yang baik, yang patut di jadikan contoh bagi seluruh wanita sesudahnya.
3. Jilbab syar'i yang benar adalah yang menutupi seluruh anggota badannya serta pakain dan perhiasaannya.
4. Hijab tidaklah diwajibkan bagi kaum wanita dalam rangka mempersulit mereka namun yang benar hijab di syari'atkan sebagai bentuk pemulian dan pengagungan bagi kaum wanita.
5. Penggunaan hijab syar'i sebagai bentuk penjagaan bagi kaum wanita serta benteng bagi lingkungan dari munculnya kerusakan dan menyebarnya perbuatan mesum.
6. Tidak boleh bagi wanita muslimah menampakan perhiasaannya kecuali di hadapan suami atau mahramnya.
7. Wajib bagi wanita muslimah untuk menutupi kepala, leher, pundak dan dada dengan kerudungnya supaya tidak terlihat oleh lelaki asing yang bukan mahramnya.
8. Anak kecil yang belum baligh, yang belum mengetahui perkara lawan jenis maka tidak mengapa bagi mereka untuk keluar masuk ke tempat para wanita.
9. Haram bagi wanita muslimah untuk melakukan perbuatan yang membuat lelaki memandangnya atau mengobarkan fitnah di kalangan mereka.
10. Wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk kembali kepada Allah dengan bertaubat dan inabah serta berpegang teguh dengan adab-adab Islam.
11. Adab berinteraksi bersama lingkungan sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Islam yang berisi di dalamnya penjagaan serta pemulian bagi utuhnya sebuah keluarga dan menjaga lingkungan masyarakat muslim. [11]
[1] . Lihat al-Hijaab was sufuur karya Ahmad bin Abdul Ghafur 'Atha hal: 47, 73, 75, 88, 148.
[2] . Irsyaad ilaa thariqin Najah hal: 52, dan Majmu' sab'a Rasail hal: 17.
[3] . Tafsir Ibnu Katsir 3/518.
[4] . Lihat Risalah as-Sufuur wal hijab karya Syaikh Abdulaziz bin Baz hal: 6.
[5] . Tafsir al-Qurthubi 14/227.
[6] . Mukaatib adalah budak yang memerdekakan sendiri dari tuannya dengan cara membayarnya (pent).
[7] . Risalah Hijab oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin.
[8] . Tafsir Ibnu Katsir 3/28.
[9] . Ibiid 3/28.
[10] . Lihat Risalah hijab karya Syaikh Muhammad al-Utsaimin.
[11] . Tafsir ayatul ahkaam karya ash-Shobuni 2/178, 386.