Sanggahan Terhadap Pendapat Bahwa Jeddah Adalah Miqat
Klasifikasi
- Tempat Miqat << Haji Dan Umrah << Ibadah << Fikih
- Ihram << Haji Dan Umrah << Ibadah << Fikih
- Fatwa << Fikih
Full Description
Sanggahan Terhadap Pendapat Bahwa Jeddah Adalah Miqat
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Lembaga Dialog Ilmiah dan Ifta dan dakwah dan penerangan
Terjemah: Muhammad Iqbal A.Gazali
Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad
2010 - 1431
﴿ هل جدة ميقات للإحرام؟ ﴾
« باللغة الإندونيسية »
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2010 - 1431
بسم الله الرحمن الرحيم
Sanggahan Terhadap Pendapat Bahwa JeddahAdalah Miqat
Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa
Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala semata, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi terakhir Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam, wa ba'du:
Dewan Tetap untuk Riset Ilmu dan Fatwa telah memeriksa dan mempelajari surat yang masuk kepada yang mulia Mufti Umum dari seseorang yang meminta fatwa berinisial RSH, dan yang dialihkan kepada Dewan dari sekjen Hai`ah Kibar Ulama dengan 2990 tertanggal 16/7/1417 H. Penanya dalam suratnya mengatakan:
Pertanyaan: Saya ingin mengetahui pendapat Syaikh yang terhormat tentang isi risalah yang ditulis oleh Adnan Ar'ur dengan judul 'Dalil-dalil yang membuktikan bahwa Jeddah adalah Miqat dan saya berharap penjelasannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbing Syaikh yang terhormat untuk setiap kebaikan.
Jawaban: Setelah mempelajari, Dewan memberikan fatwa sebagai berikut:
Telah keluar penjelasan dari yang mulia Mufti umum tentang buku tersebut, berikut ini teks penjelasannya:
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya, wa ba'du:
Sesungguhnya Rasulullah Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam telah menjelaskan miqat-miqat untuk berihram yang tidak boleh dilewati tanpa ihram oleh siapa saja yang hendak melakukan ibadah haji atau ibadah umrah. Miqat-miqat tersebut adalah: Dzulhulaifah (Abyar ali), untuk penduduk kota Madinah dan orang yang datang dari arah sana, Juhfah untuk orang-orang yang datang dari negeri Syam (Siria), Mesir dan Maroko serta orang yang datang dari arah sana, Yalamlam (Sa'diyah) untuk orang yang datang dari negeri Yaman dan orang yang datang dari arah sana, Qarnul Manazil untuk orang-orang yang berasal dari negeri Najed dan Thaif serta orang yang datang dari arah sana. Sedangkan orang-orang yang rumah berada di daerah-daerah sesudah miqat-miqat tersebut, maka mereka berihram dari rumah masing-masing, sehingga penduduk kota Makkah pun berihram haji dari Makkah. Adapun ihram umrah maka harus mereka ambil dari luar tanah haram. Sedangkan penduduk kota Jeddah dan orang-orang tinggal di Jeddah berihram dari Jeddah, baik untuk ihram haji maupun untuk ihram umrah.
Dan barangsiapa yang melalui miqat-miqat tersebut menuju Makkah bukan untuk haji dan umrah maka ia tidak harus berihram, menurut pendapat yang shahih (benar). Namun jika kemudian muncul keinginan untuk haji atau umrah sesudah ia melewati miqat-miqat tersebut maka ia berihram dari tempat di mana keinginan itu muncul, kecuali jika ia telah berada di Makkah lalu muncul keinginan untuk umrah, maka ia keluar dari tanah haram, lalu berihram dari sana (sebagaimana dijelaskan di atas). Jadi, ihram itu wajib dimulai dari miqat bagi setiap orang yang melaluinya dari udara, darat dan laut, apabila ia hendak menunaikan ibadah haji atau umrah.
Hal yang mewajibkan kami menjelaskan masalah ini adalah adanya buku kecil yang datang dari sebagian rekan pada akhir-akhir ini yang berjudul 'Adillatul Itsbat anna Jaddah Miqat' (Dalil-dalil yang membuktikan Jeddah adalah Miqat). Di dalam buku kecil ini penulisnya berupaya mengadakan miqat tambahan di luar miqat-miqat yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam. Dia beranggapan bahwa Jeddah itu adalah miqat bagi orang-orang yang datang dengan pesawat udara di bandara atau datang ke Jeddah lewat laut atau lewat darat. Maka (menurut penulis buku ini) mereka boleh menunda ihramnya sampai tiba di Jeddah, kemudian berihram dari sana. Karena, menurut anggapan dia, Jeddah itu sejajar dengan dua miqat, yaitu Sa'diyah dan Juhfah.
Ini adalah kesalahan besar yang dapat diketahui oleh setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang realita sebenarnya. Sebab, Jeddah itu berada di dalam wilayah miqat, dan orang yang datang ke Jeddah pasti telah melalui salah satu miqat yang telah ditetapkan oleh Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam atau berada dalam posisi sejajar dengannya baik di darat, laut maupun di udara. Maka tidak boleh melewati miqat itu tanpa ihram jika berniat menunaikan ibadah haji atau ibadah umrah, sebab ketika Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam menentukan miqat-miqat tersebut, beliau bersabda:
(( هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ يُرِيْدُ الْحَجَّ أَوِ الْعُمْرَةَ )) رواه البخاري
"Miqat-miqat itu masing-masing bagi penduduk negeri yang telah ditetapkan dan bagi orang yang bukan berasal darinya yang datang melewatinya dari siapa saja yang hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah." [1]
Oleh karena itu, tidak boleh bagi orang yang akan berhaji atau berumrah melewati miqat-miqat tersebut hingga sampai di Jeddah tanpa berihram, lalu berihram dari Jeddah, sebab Jeddah itu berada di dalam wilayah miqat.
Tatkala ada sebagian ulama bertindak sembrono sebagaimana yang dilakukan oleh penulis buku kecil tadi, dan ia berfatwa bahwa Jeddah adalah miqat bagi orang-orang yang datang kepadanya, maka keluarlah keputusan dewan komisi Kibar Ulama yang menyatakan kepalsuan dugaan tersebut dan kerapuhan dalil-dalilnya, di mana di dalam keputusan itu disebutkan: "Setelah melihat kepada dalil-dalil dan penjelasan-penjelasan para ulama berkenaan dengan miqat makaniyah (tempat mengambil miqat) dan melakukan analisa dari segala aspeksnya, maka Dewan Komisi Fatwa Kibar Ulama menetapkan keputusan sebagai berikut:
- Sesungguhnya fatwa khusus yang dikeluarkan tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para penumpang pesawat udara dan kapal laut adalah fatwa batil (tidak benar) karena tidak bersumber dari nash al-Qur`an ataupun hadits Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam ataupun ijma' para ulama salaf, dan tidak pernah dikatakan oleh seorang ulama kaum muslimin yang dapat dijadikan sandaran.
- Bagi orang yang melewati salah satu miqat makaniyah (tempat mengambil ihram) atau berada dalam posisi sejajar dengannya, baik di udara, di darat maupun di laut tidak boleh melaluinya tanpa ihram bila ia hendak melakukan haji atau umrah, sebagaimana ditegaskan di dalam banyak dalil dan sebagaimana dinyatakan oleh para ulama.
Kewajiban kita semua adalah memberikan nasehat, maka saya dan segenap anggota Komisi Dewan Tetap riset ilmu dan fatwa mengeluarkan penjelasan ini agar tidak ada seorang pun yang tertipu dengan buku kecil tersebut.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu memberi taufik -Nya, Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Lajnah Daimah- Fatwa no. 19210 dan tanggal 2/11/1417 H.
[1] Al-Bukhari 1524.