×
Makalah ini membahas tentang salah satu akhlak para salafus shalih, yaitu sabar terhadap musibah. Diceritakan dalam makalah tentang kesabaran para salaf dalam menghadapi berbagai macam musibah, seperti cerita Mu’adz bin Jabal, Abu Dzarr, dan Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhum. Sikap dan ucapan menggambarkan kesabaran mereka terhadap musibah. Demikian pula ungkapan Syuraih yang mengatakan bahwa ia memuji Allah Shubhanahu wa ta’alla empat kali saat mendapat musibah. Berbagai kisah tentang kesabaran para salaf dalam menghadapi musibah merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.

    Salaf Dan Sabar Terhadap Musibah

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil

    Bahauddin bin Fatih Aqil

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2014 - 1435

    السلف والصبر على المصائب

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ عبدالعزيز بن ناصر الجليل

    الشيخ بهاء الدين بن فاتح عقيل

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2014 - 1435

    Muqodimah

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

    Dari A’masy, dari Syahr bin Hausyab, dari Harits bin Umairah, ia berkata: ‘Aku sedang duduk di sisi Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, dan ia sedang sakaratul maut, dia pingsan lalu sadar, ia berkata: ‘Cekiklah diriku (maksudnya: lakukanlah apapun terhadapku, pent), demi kemulian -Mu, sesungguhnya aku mencintai-Mu.’[1]

    Dari Mubarrid: Ada yang berkata kepada Hasan bin Ali: Sesungguhnya Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Fakir lebih kusukai dari pada kaya dan sakit lebih kusukai dari pada sehat.’ Ia berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi rahmat kepada Abu Dzarr, adapun saya mengatakan: ‘Barangsiapa yang bertawakkal terhadap pilihan terbaik yang dipilih Allah Shubhanahu wa ta’ala untuknya niscaya ia tidak berangan-angan terhadap sesuatu. Inilah definisi pendirian terhadap ridha yang terjadi, seperti yang sudah ditaqdirkan.’[2]

    Dari Wahb bin Munabbih rahimahullah: ‘Sesungguhnya Isa alaihissalam berkata kepada Hawariyin: ‘Orang yang paling berkeluh kesah dari kalian terhadap musibah adalah yang paling cinta terhadap dunia.’[3]

    Dari Sya’by, ia berkata: Syuraih rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya aku mendapat musibah maka aku memuji Allah Shubhanahu wa ta’ala empat kali; aku memuji -Nya karena tidak lebih berat darinya, aku memuji karena -Dia memberiku kesabaran terhadapnya, memuji ketika Dia memberi taufik kepadaku untuk membaca istirja’ karena mengharapkan pahala, dan aku memuji ketika -Dia tidak menimpakannya pada agamaku.’[4]

    Ghassan bin Mufadhdhal al-Ghalaby rahimahullah berkata: ‘Sebagian sahabatku menceritakan kepadaku, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Yunus bin Ubaid rahimahullah, lalu mengadukan kepadanya tentang kesulitan dalam kehidupannya serta duka citanya terhadap hal itu. Ia berkata: ‘Apakah engkau senang matamu ditukar dengan seratus ribu? Ia menjawab: Tidak. Ia (Yunus) berkata: ‘Dengan matamu? Ia menjawab: ‘Tidak.’ Ia (Yunus) berkata: Dengan lisanmu? Ia menjawab: Tidak. Ia (Yunus) berkatanya: ‘Dengan lisanmu? Ia menjawab: Tidak. Ia (Yunus) berkata: ‘Dengan akalmu? Ia menjawab: Tidak. Dan ia menyebutkan nikmat nikmat Allah Shubhanahu wa ta’ala terhadapnya. Kemudian Yunus berkata kepadanya: ‘Saya melihat engkau memiliki ratusan ribu dan engkau masih mengeluhkan kebutuhan.’[5]

    Dari Asy’ats bin Sa’id, ia berkata: Ibnu Aun berkata: ‘Seorang hamba tidak mendapatkan hakikat ridha sehingga ridhanya di saat fakir seperti ridhanya di saat kaya. Bagaimana engkau menerima ketentuan Allah Shubhanahu wa ta’ala dalam perkaramu, kemudian engkau marah jika engkau melihat ketentuan -Nya berbeda dengan keinginanmu. Bisa jadi yang engkau inginkan dari hal itu jika dimudahkan- Nya merupakan bencana bagimu, dan engkau meridhai ketentuan -Nya apabila sesuai keinginanmu? Engkau tidak bersikap obyektif terhadap dirimu dan tidak mendapatkan pintu ridha.’[6]

    Dari Ahmad bin Isham, ia berkata: ‘Zuhair bin Nu’aim rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya perkara ini tidak sempurna kecuali dengan dua perkara: sabar dan yakin, jika keyakinan tidak disertai kesabaran ia tidak sempurna, dan jika kesabaran tidak disertai keyakinan niscaya ia tidak sempurna. Dan Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu memberikan contoh bagi keduanya, ia berkata: ‘Perumpamaan yakin dan sabar adalah seperti dua orang petani yang menggali tanah, apabila salah seorang duduk niscaya duduklah yang lain.’[7]

    Dari Utsman bin Haitsam rahimahullah, ia berkata: ‘Ada seorang laki laki di Bashrah dari Bani Sa’ad, ia salah seorang pemimpin pasukan Ubaidillah bin Ziyad, ia terjatuh dari loteng lalu kakinya patah. Lalu Abu Qilabah radhiyallahu ‘anhu datang mengunjungi, ia berkata kepadanya: ‘Aku berharap ia menjadi kebaikan bagimu.’ Ia menjawabnya: ‘Wahai Abu Qilabah! kebaikan apakah saat kedua kakiku patah? Ia menjawab: ‘Yang ditutup Allah Shubhanahu wa ta’ala terhadapmu jauh lebih banyak.’

    Setelah tiga hari, datanglah surat dari Ibnu Ziyad agar keluar untuk membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata kepada utusan: Apa yang engkau ketahui tentang musibah Telah menimpaku.’ Maka tidak berlalu kecuali hanya tujuh hari hingga sampai berita terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu. Laki-laki itu berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi rahmat kepada Abu Qilabah radhiyallahu ‘anhu, sungguh ia benar, sesungguhnya ia benar-benar menjadi kebaikan bagiku.’[8]

    [1] Siyar A’lam Nubala` 1/460.

    [2] Siyar A’lam Nubala’ 3/262.

    [3] Siyar A’lam Nubala’ 1/551.

    [4] Siyar A’lam Nubala’ 4/105.

    [5] Siyar A’lam Nubala’ 6/292.

    [6] Sifat Shafwah: 3/311.

    [7] Sifar shafwah: 4/8

    [8] Sifat Shafwah 3/238.